Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat
tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga
orang. Sebagai anak belia yang sudah bekerja aku dapat giliran ronda pada malam
minggu.
Pada suatu malam minggu aku giliran ronda. Tetapi
sampai pukul 23.00 dua orang temanku tidak muncul di pos perondaan. Aku tidak
peduli mau datang apa tidak, karena aku maklum tugas ronda adalah sukarela,
sehingga tidak baik untuk dipaksa-paksa. Biarlah aku ronda sendiri tidak ada
masalah.
Karena memang belum mengantuk, aku jalan-jalan
mengontrol kampung. Biasanya kami mengelilingi rumah-rumah penduduk. Pada waktu
sampai di samping rumah Pak Tadi, aku melihat kaca nako yang belum tertutup.
Aku mendekati untuk melihat apakah kaca nako itu kelupaan ditutup atau ada
orang jahat yang membukanya. Dengan hati-hati kudekati, tetapi ternyata kain
korden tertutup rapi.
Kupikir kemarin sore pasti lupa menutup kaca nako,
tetapi langsung menutup kain kordennya saja. Mendadak aku mendengar suara aneh,
seperti desahan seseorang. Kupasang telinga baik-baik, ternyata suara itu
datang dari dalam kamar. Kudekati pelan-pelan, dan darahku berdesir, ketika
ternyata itu suara orang bersetubuh. Nampaknya ini kamar tidur Pak Tadi dan
istrinya.
Aku lebih mendekat lagi, suaranya dengusan nafas
yang memburu dan gemerisik dan goyangan tempat tidur lebih jelas terdengar.
“Ssshh… hhemm… uughh… ugghh, terdengar suara dengusan dan suara orang seperti
menahan sesuatu. Jelas itu suara Bu Tadi yang ditindih suaminya. Terdengar pula
bunyi kecepak-kecepok, nampaknya penis Pak Tadi sedang mengocok liang vagina Bu
Tadi.
Aduuh, darahku naik ke kepala, penisku sudah
berdiri keras seperti kayu. Aku betul-betul iri membayangkan Pak Tadi
menggumuli istrinya. Alangkah nikmatnya menyetubuhi Bu Tadi yang cantik dan
bahenol itu.
“Oohh, sshh buuu, aku mau keluar, sshh…. ssshh..”
terdengar suara Pak Tadi tersengal-sengal. Suara kecepak-kecepok makin cepat,
dan kemudian berhenti. Nampaknya Pak Tadi sudah ejakulasi dan pasti penisnya
dibenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi. Selesailah sudah persetubuhan
itu, aku pelan-pelan meninggalkan tempat itu dengan kepala berdenyut-denyut dan
penis yang kemeng karena tegang dari tadi.
Sejak malam itu, aku jadi sering mengendap-endap
mengintip kegiatan suami-istri itu di tempat tidurnya. Walaupun nako tidak
terbuka lagi, namun suaranya masih jelas terdengar dari sela-sela kaca nako
yang tidak rapat benar. Aku jadi seperti detektip partikelir yang mengamati
kegiatan mereka di sore hari.
Biasanya pukul 21.00 mereka masih melihat siaran
TV, dan sesudah itu mereka mematikan lampu dan masuk ke kamar tidurnya. Aku
mulai melihat situasi apakah aman untuk mengintip mereka. Apabila aman, aku
akan mendekati kamar mereka. Kadang-kadang mereka hanya bercakap-cakap
sebentar, terdengar bunyi gemerisik (barangkali memasang selimut), lalu sepi.
Pasti mereka terus tidur.
Tetapi apabila mereka masuk kamar, bercakap-cakap,
terdengar ketawa-ketawa kecil mereka, jeritan lirih Bu Tadi yang kegelian
(barangkali dia digelitik, dicubit atau diremas buah dadanya oleh Pak Tadi),
dapat dipastikan akan diteruskan dengan persetubuhan. Dan aku pasti
mendengarkan sampai selesai. Rasanya seperti kecanduan dengan suara-suara Pak
Tadi dan khususnya suara Bu Tadi yang keenakan disetubuhi suaminya.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa.
Apabila aku bertemu Bu Tadi juga biasa-biasa saja, namun tidak dapat
dipungkiri, aku jadi jatuh cinta sama istri Pak Tadi itu. Orangnya memang
cantik, dan badannya padat berisi sesuai dengan seleraku. Khususnya pantat dan
buah dadanya yang besar dan bagus.
Aku menyadari bahwa hal itu tidak akan mungkin,
karena Bu tadi istri orang. Kalau aku berani menggoda Bu Tadi pasti jadi
masalah besar di kampungku. Bisa-bisa aku dipukuli atau diusir dari kampungku.
Tetapi nasib orang tidak ada yang tahu. Ternyata aku akhirnya dapat menikmati
keindahan tubuh Bu Tadi.
Pada suatu hari aku mendengar Pak Tadi opname di
rumah sakit, katanya operasi usus buntu. Sebagai tetangga dan masih bujangan
aku banyak waktu untuk menengoknya di rumah sakit. Dan yang penting aku mencoba
membangun hubungan yang lebih akrab dengan Bu Tadi.
Pada suatu sore, aku menengok di rumah sakit
bersamaan dengan adiknya Pak Tadi. Sore itu, mereka sepakat Bu Tadi akan
digantikan adiknya menunggu di rumah sakit, karena Bu Tadi sudah beberapa hari
tidak pulang. Aku menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Mereka setuju saja
dan malah berterima kasih. Terus terang kami sudah menjalin hubungan lebih
akrab dengan keluarga itu.
Sehabis mahgrib aku bersama Bu Tadi pulang. Dalam
mobilku kami mulai mengobrol, mengenai sakitnya Pak Tadi. Katanya seminggu lagi
sudah boleh pulang. Aku mulai mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi, atau
katakanlah lebih kurang ajar. Inikan kesempatan bagus sekali untuk mendekatai
Bu Tadi.
“Bu, maaf yaa. ngomong-ngomong Bu Tadi sudah
berkeluarga sekitar 3 tahun kok belum diberi momongan yaa”, kataku hati-hati.
“Ya, itulah Dik Budi. Kami kan hanya lakoni.
Barangkali Tuhan belum mengizinkan”, jawab Bu Tadi.
“Tapi anu tho bu… anuu.. bikinnya khan jalan
terus.” godaku.
“Ooh apa, ooh. kalau itu sih iiiya Dik Budi” jawab
Bu Tadi agak kikuk. Sebenarnya kan aku tahu, mereka setiap minggunya minmal 2
kali bersetubuh dan terbayang kembali desahan Bu Tadi yang keenakan. Darahku
semakin berdesir-desir. Aku semakin nekad saja.
“Tapi, kok belum berhasil juga yaa bu?” lanjutku.
“Ya, itulah, kami berusaha terus. Tapi
ngomong-ngomong kapan Dik Budi kimpoi. Sudah kerja, sudah punya mobil, cakep
lagi. Cepetan dong. Nanti keburu tua lhoo”, kata Bu Tadi.
“Eeh, benar nih Bu Tadi. Aku cakep niih. Ah
kebetulan, tolong carikan aku Bu. Tolong carikan yang kayak Ibu Tadi ini lhoo”,
kataku menggodanya.
“Lho, kok hanya kayak saya. Yang lain yang lebih
cakep kan banyak. Saya khan sudah tua, jelek lagi”, katanya sambil ketawa.
Aku harus dapat memanfaatkan situasi. Harus, Bu
tadi harus aku dapatkan.
“Eeh, Bu Tadi. Kita kan nggak usah buru-buru nih.
Di rumah Bu Tadi juga kosong. Kita cari makan dulu yaa. Mauu yaa bu, mau yaa”,
ajakku dengan penuh kekhawatiran jangan-jangan dia menolak.
“Tapi nanti kemaleman lo Dik”, jawabnya.
“Aah, baru jam tujuh. Mau ya Buu”, aku sedikit
memaksa.
“Yaa gimana yaa… ya deh terserah Dik Budi. Tapi
nggak malam-malam lho.” Bu Tadi setuju. Batinku bersorak.
Kami berehenti di warung bakmi yang terkenal.
Sambil makan kami terus mengobrol. Jeratku semakin aku persempit.
“Eeh, aku benar-benar tolong dicarikan istri yang
kayak Bu Tadi dong Bu. benar nih. Soalnya begini bu, tapii eeh nanti Bu Tadi
marah sama saya. Nggak usaah aku katakan saja deh”, kubuat Bu Tadi penasaran.
“Emangnya kenapa siih.” Bu tadi memandangku penuh
tanda tanya.
“Tapi janji nggak marah lho.” kataku memancing.
Dia mengangguk kecil.
“Anu bu… tapi janji tidak marah lho yaa.”
“Bu Tadi terus terang aku terobsesi punya istri
seperti Bu tadi.
Aku benar-benar bingung dan seperti orang gila
kalau memikirkan Bu Tadi. Aku menyadari ini nggak betul. Bu Tadi kan istri
tetanggaku yang harus aku hormati. Aduuh, maaf, maaf sekali bu. aku sudah
kurang ajar sekali”, kataku menghiba. Bu Tadi melongo, memandangiku. sendoknya
tidak terasa jatuh di piring.
Bunyinya mengagetkan dia, dia tersipu-sipu, tidak
berani memandangiku lagi.
Sampai selesai kami jadi berdiam-diaman. Kami
berangkat pulang. Dalam mobil aku berpikir, ini sudah telanjur basah. Katanya
laki-laki harus nekad untuk menaklukkan wanita. Nekad kupegang tangannya dengan
tangan kiriku, sementara tangan kananku memegang setir. Di luar dugaanku, Bu
Tadi balas meremas tanganku. Batinku bersorak. Aku tersenyum penuh kemenangan.
Tidak ada kata-kata, batin kami, perasaan kami telah bertaut. Pikiranku
melambung, melayang-layang. Mendadak ada sepeda motor menyalib mobilku. Aku kaget.
“Awaas! hati-hati!” Bu Tadi menjerit kaget.
“Aduh nyalib kok nekad amat siih”, gerutuku.
“Makanya kalau nyetir jangan macam-macam”, kata Bu
tadi. Kami tertawa. Kami tidak membisu lagi, kami ngomong, ngomong apa saja.
Kebekuan cair sudah. Sampai di rumah aku hanya sampai pintu masuk, aku lalu
pamit pulang.
Di rumah aku mencoba untuk tidur.
Tidak bisa. Nonton siaran TV, tidak nyaman juga.
Aku terus membayangkan Bu Tadi yang sekarang sendirian, hanya ditemani
pembantunya yang tua di kamar belakang. Ada dorongan sangat kuat untuk
mendatangi rumah Bu Tadi. Berani nggaak, berani nggak. Mengapa nggak berani.
Entah setan mana yang mendorongku, tahu-tahu aku sudah keluar rumah. Aku
mendatangi kamar Bu Tadi. Dengan berdebar-debar, aku ketok pelan-pelan kaca nakonya,
“Buu Tadi, aku Budi”, kataku lirih.
Terdengar gemerisik tempat tidur, lalu sepi.
Mungkin Bu Tadi bangun dan takut. Bisa juga mengira aku maling. “Aku Budi”,
kataku lirih. Terdengar gemerisik. Kain korden terbuka sedikit. Nako terbuka
sedikit. “Lewat belakang!” kata Bu Tadi. Aku menuju ke belakang ke pintu dapur.
Pintu terbuka, aku masuk, pintu tertutup kembali. Aku nggak tahan lagi, Bu Tadi
aku peluk erat-erat, kuciumi pipinya, hidungnya, bibirnya dengan lembut dan
mesra, penuh kerinduan. Bu Tadi membalas memelukku, wajahnya disusupkan ke
dadaku.
“Aku nggak bisa tidur”, bisikku.
“Aku juga”, katanya sambil memelukku erat-erat.
Dia melepaskan pelukannya. Aku dibimbingnya masuk
ke kamar tidurnya. Kami berpelukan lagi, berciuman lagi dengan lebih bernafsu.
“Buu, aku kangen bangeeet. Aku kangen”, bisikku sambil terus menciumi dan
membelai punggungnya. Nafsu kami semakin menggelora. Aku ditariknya ke tempat
tidur.
Bu Tadi membaringkan dirinya. Tanganku menyusup ke
buah dadanya yang besar dan empuk, aduuh nikmat sekali, kuelus buah dadanya
dengan lembut, kuremas pelan-pelan. Bu Tadi menyingkapkan dasternya ke atas,
dia tidak memakai BH. Aduh buah dadanya kelihatan putih dan menggung.
Aku nggak tahan lagi, kuciumi, kukulum pentilnya,
kubenamkan wajahku di kedua buah dadanya, sampai aku nggak bisa bernapas.
Sementara tanganku merogoh kemaluannya yang berbulu tebal. Celana dalamnya
kupelorotkan, dan Bu Tadi meneruskan ke bawah sampai terlepas dari kakinya.
Dengan sigap aku melepaskan sarung dan celana
dalamku. Penisku langsung tegang tegak menantang. Bu Tadi segera menggenggamnya
dan dikocok-kocok pelan dari ujung penisku ke pangkal pahaku. Aduuh, rasanya
geli dan nikmat sekali. Aku sudah nggak sabar lagi. Aku naiki tubuh Bu Tadi,
bertelekan pada sikut dan dengkulku.
Kaki Bu Tadi dikangkangkannya lebar-lebar, penisku
dibimbingnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Digesek-gesekannya di
bibir kemaluannya, makin lama semakin basah, kepala penisku masuk, semakin
dalam, semakin… dan akhirnya blees, masuk semuanya ke dalam kemaluan Bu Tadi.
Aku turun-naik pelan-pelan dengan teratur. Aduuh, nikmat sekali. Penisku
dijepit kemaluan Bu Tadi yang sempit dan licin. Makin cepat kucoblos,
keluar-masuk, turun-naik dengan penuh nafsu. “Aduuh, Dik Budi, Dik Budii… enaak
sekali, yang cepaat.. teruus”, bisik Bu Tadi sambil mendesis-desis. Kupercepat
lagi. Suaranya vagina Bu Tadi kecepak-kecepok, menambah semangatku. “Dik Budiii
aku mau muncaak… muncaak, teruus… teruus”, Aku juga sudah mau keluar.
Aku percepat, dan penisku merasa akan keluar.
Kubenamkan dalam-dalam ke dalam vagina Bu Tadi sampai amblaas. Pangkal penisku
berdenyut-denyut, spermaku muncrat-muncrat di dalam vagina Bu Tadi. Kami
berangkulan kuat-kuat, napas kami berhenti. Saking nikmatnya dalam beberapa detik
nyawaku melayang entah kemana. Selesailah sudah. Kerinduanku tercurah sudah,
aku merasa lemas sekali tetapi puas sekali.
Kucabut penisku, dan berbaring di sisinya. Kami
berpelukan, mengatur napas kami. Tiada kata-kata yang terucapkan, ciuman dan
belaian kami yang berbicara.
“Dik Budi, aku curiga, salah satu dari kami
mandul. Kalau aku subur, aku harap aku bisa hamil dari spermamu. Nanti kalau
jadi aku kasih tahu.
Yang tahu bapaknya anakku kan hanya aku sendiri
kan. Dengan siapa aku membuat anak”, katanya sambil mencubitku. Malam itu
pertama kali aku menyetubuhi Bu Tadi tetanggaku. Beberapa kali kami berhubungan
sampai aku kimpoi dengan wanita lain. Bu Tadi walaupun cemburu tapi dapat
memakluminya.
Keluarga Pak tadi sampai saat ini hanya mempunyai
satu anak perempuan yang cantik. Apabila di kedepankan, Bu Tadi sering menciumi
anak itu, sementara matanya melirikku dan tersenyum-senyum manis. Tetanggaku
pada meledek Bu Tadi, mungkin waktu hamil Bu Tadi benci sekali sama aku.
Karena anaknya yang cantik itu mempunyai mata,
pipi, hidung, dan bibir yang persis seperti mata, pipi, hidung, dan bibirku.
Seperti telah anda ketahui hubunganku dengan Bu
Tadi istri tetanggaku yang cantik itu tetap berlanjut sampai kini, walaupun aku
telah berumah tangga. Namun dalam perkimpoianku yang sudah berjalan dua tahun
lebih, kami belum dikaruniai anak. Istriku tidak hamil-hamil juga walaupun
penisku kutojoskan ke vagina istriku siang malam dengan penuh semangat.
Kebetulan istriku juga mempunyai nafsu seks yang besar. Baru disentuh saja
nafsunya sudah naik.
Biasanya dia lalu melorotkan celana dalamnya,
menyingkap pakaian serta mengangkangkan pahanya agar vaginanya yang tebal
bulunya itu segera digarap. Di mana saja, di kursi tamu, di dapur, di kamar
mandi, apalagi di tempat tidur, kalau sudah nafsu, ya aku masukkan saja penisku
ke vaginanya. Istriku juga dengan penuh gairah menerima coblosanku. Aku sendiri
terus terang setiap saat melihat istriku selalu nafsu saja deh. Memang istriku
benar-benar membuat hidupku penuh semangat dan gairah.
Tetapi karena istriku tidak hamil-hamil juga aku
jadi agak kawatir. Kalau mandul, jelas aku tidak. Karena sudah terbukti Bu Tadi
hamil, dan anakku yang cantik itu sekarang menjadi anak kesayangan keluarga Pak
Tadi. Apakah istriku yang mandul? Kalau melihat fisik serta haidnya yang
teratur, aku yakin istriku subur juga. Apakah aku kena hukuman karena aku
selingkuh dengan Bu Tadi? aah, mosok. Nggak mungkin itu. Apakah karena dosa?
Waah, mestinya ya memang dosa besar. Tapi karena menyetubuhi Bu Tadi itu enak
dan nikmat, apalagi dia juga senang, maka hubungan gelap itu perlu diteruskan,
dipelihara, dan dilestarikan.
Untuk mengatur perselingkuhanku dengan Bu Tadi,
kami sepakat dengan membuat kode khusus yang hanya diketahui kami berdua.
Apabila Pak Tadi tidak ada di rumah dan benar-benar aman, Bu Tadi memadamkan
lampu di sumur belakang rumahnya.
Biasanya lampu 5 watt itu menyala sepanjang malam,
namun kalau pada pukul 20.00 lampu itu padam, berarti keadaan aman dan aku
dapat mengunjungi Bu Tadi. (Anda dapat meniru caraku yang sederhana ini. Gratis
tanpa bayar pulsa telepon yang makin mahal). Karena dari samping rumahku dapat
terlihat belakang rumah Bu Tadi, dengan mudah aku dapat menangkap tanda
tersebut. Tetapi pernah tanda itu tidak ada sampai 1 atau 2 bulan, bahkan 3
bulan. Aku kadang-kadang jadi agak jengkel dan frustasi (karena kangen) dan aku
mengira juga Bu Tadi sudah bosan denganku.
Tetapi ternyata memang kesempatan itu benar-benar
tidak ada, sehingga tidak aman untuk bertemu.
Pada suatu hari aku berpapasan dengan Bu Tadi di
jalan dan seperti biasanya kami saling menyapa baik-baik. Sebelum melanjutkan
perjalanannya, dia berkata, “Dik Budi, besok malam minggu ada keperluan nggak?”
“Kayaknya sih nggak ada acara kemana-mana.
Emangnya ada apa?” jawabku dengan penuh harapan karena sudah hampir satu bulan
kami tidak bermesraan.
“Nanti ke rumah yaa!” katanya dengan tersenyum
malu-malu.
“Emangnya Pak Tadi nggak ada?” kataku. Dia tidak
menjawab, cuma tersenyum manis dan pergi meneruskan perjalanannya. Walaupun
sudah biasa, darahku pun berdesir juga membayangkan pertemuanku malam minggu
nanti.
Seperti biasa malam minggu adalah giliran ronda
malamku. Istriku sudah tahu itu, sehingga tidak menaruh curiga atau bertanya
apa-apa kalau pergi keluar malam itu. Aku sudah bersiap untuk menemui Bu Tadi.
Aku hanya memakai sarung, (tidak memakai celana dalam) dan kaos lengan panjang
biar agak hangat. Dan memang kalau tidur aku tidak pernah pakai celana dalam
tetapi hanya memakai sarung saja. Rasanya lebih rileks dan tidak sumpek, serta
penisnya biar mendapat udara yang cukup setelah seharian dipepes dalam celana
dalam yang ketat.
Waktu menunjukkan pukul 22.00. Lampu belakang
rumah Bu Tadi sudah padam dari tadi. Aku berjalan memutar dulu untuk melihat
situasi apakah sudah benar-benar sepi dan aman. Setelah yakin aman, aku menuju
ke samping rumah Bu Tadi. Aku ketok kaca nako kamarnya. Tanpa menunggu jawaban,
aku langsung menuju ke pintu belakang. Tidak berapa lama terdengar kunci
dibuka. Pelan pintu terbuka dan aku masuk ke dalam. Pintu ditutup kembali.
Aku berjalan beriringan mengikuti Bu Tadi masuk ke
kamar tidurnya. Setelah pintu ditutup kembali, kami langsung berpelukan dan
berciuman untuk menyalurkan kerinduan kami. Kami sangat menikmati kemesraan
itu, karena memang sudah hampir satu bulan kami tidak mempunyai kesempatan
untuk melakukannya. Setelah itu, Bu Tadi mendorongku, tangannya di pinggangku,
dan tanganku berada di pundaknya. Kami berpandangan mesra, Bu tadi tersenyum
manis dan memelukku kembali erat-erat. Kepalanya disandarkan di dadaku.
“Paa, sudah lama kita nggak begini”, katanya
lirih. Bu Tadi sekarang kalau sedang bermesraan atau bersetubuh memanggilku
Papa. Demikian juga aku selalu membisikkan dan menyebutnya Mama kepadanya.
Nampaknya Bu Tadi menghayati betul bahwa Nia, anaknya yang cantik itu bikinan
kami berdua.
“Pak Tadi sedang kemana sih maa”, tanyaku.
“Sedang mengikuti piknik karyawan ke Pangandaran.
Aku sengaja nggak ikut dan hanya Nia saja yang ikut. Tenang saja, pulangnya
baru besok sore”, katanya sambil terus mendekapku.
“Maa, aku mau ngomong nih”, kataku sambil duduk
bersanding di tempat tidur. Bu Tadi diam saja dan memandangku penuh tanda tanya.
“Maa, sudah dua tahun lebih aku berumah tangga,
tetapi istriku belum hamil-hamil juga. Kamu tahu, mustinya secara fisik, kami
tidak ada masalah. Aku jelas bisa bikin anak, buktinya sudah ada kan. Aku nggak
tahu kenapa kok belum jadi juga. Padahal bikinnya tidak pernah berhenti, siang
malam”, kataku agak melucu. Bu Tadi memandangku.
“Pa, aku harus berbuat apa untuk membantumu. Kalau
aku hamil lagi, aku yakin suamiku tidak akan mengijinkan adiknya Nia kamu minta
menjadi anak angkatmu. Toh anak kami kan baru dua orang nantinya, dan pasti
suamiku akan sayang sekali. Untukku sih memang seharusnya bapaknya sendiri yang
mengurusnya. Tidak seperti sekarang, keenakan dia. Cuma bikin doang, giliran
sudah jadi bocah orang lain dong yang ngurus”, katanya sambil merenggut manja.
Aku tersenyum kecut.
“Jangan-jangan ini hukuman buatku ya maa, Aku
dihukum tidak punya anak sendiri. Biar tahu rasa”, kataku.
“Ya sabar dulu deh paa, mungkin belum pas saja.
Spermamu belum pas ketemu sama telornya Rina (nama istriku). Siapa tahu bulan
depan berhasil”, katanya menghiburku.
“Ya mudah-mudahan. Tolong didoain yaa…”
“Enak saja. Didoain? Mustinya aku kan nggak rela
Papa menyetubuhi Rina istrimu itu. Mustinya Papa kan punyaku sendiri, aku monopoli.
Nggak boleh punya Papa masuk ke perempuan lain kan. Kok malah minta didoain.
Gimana siih”, katanya manja dan sambil memelukku erat-erat. Benar juga,
mestinya kami ini jadi suami-istri, dan Nia itu anak kami.
“Maa, kalau kita ngomong-ngomong seperti ini,
jadinya nafsunya malah jadi menurun lho. Jangan-jangan nggak jadi main nih”,
kataku menggoda.
“Iiih, dasar”, katanya sambil mencubit pahaku
kuat-kuat.
“Makanya jangan ngomong saja. Segera saja Mama ini
diperlakukan sebagaimana mestinya. Segera digarap doong!” katanya manja.
Kami berpelukan dan berciuman lagi. Tentu saja
kami tidak puas hanya berciuman dan berpelukan saja. Kutidurkan dia di tempat
tidur, kutelentangkan. Bu Tadi mandah saja. Pasrah saja mau diapain. Dia
memakai daster dengan kancing yang berderet dari atas ke bawah. Kubuka kancing
dasternya satu per satu mulai dari dada terus ke bawah. Kusibakkan ke kanan dan
ke kiri bajunya yang sudah lepas kancingnya itu. Menyembullah buah dadanya yang
putih menggunung (dia sudah tidak pakai BH). Celana dalam warna putih yang
menutupi vaginanya yang nyempluk itu aku pelorotkan.
Aku benar-benar menikmati keindahan tubuh istri
gelapku ini. Saat satu kakinya ditekuk untuk melepaskan celana dalamnya,
gerakan kakinya yang indah, vaginanya yang agak terbuka, aduh pemandangan itu
sungguh indah. Benar-benar membuatku menelan ludah. Wajah yang ayu,buah dada
yang putih menggunung, perut yang langsing, vagina yang nyempluk dan agak
terbuka, kaki yang indah agak mengangkang, sungguh mempesona. Aku tidak tahan
lagi. Aku lempar sarungku dan kaosku entah jatuh dimana. Aku segera naik di
atas tubuh Bu Tadi. Kugumuli dia dengan penuh nafsu. Aku tidak peduli Bu Tadi
megap-megap keberatan aku tindih sepenuhnya. Habis gemes banget, nafsu banget
sih.
“Uugh jangan nekad tho. Berat nih”, keluh Bu Tadi.
Aku bertelekan pada telapak tanganku dan
dengkulku. Penisku yang sudah tegang banget aku paskan ke vaginanya. Terampil
tangan Bu Tadi memegangnya dan dituntunnya ke lubang vaginanya yang sudah
basah. Tidak ada kesulitan lagi, masuklah semuanya ke dalam vaginanya. Dengan
penuh semangat kukocok vagina Bu Tadi dengan penisku. Bu Tadi semakin naik,
menggeliat dan merangkulku, melenguh dan merintih. Semakin lama semakin cepat,
semakin naik, naik, naik ke puncak.
“Teruuus, teruus paa.. sshh… ssh…” bisik Bu Tadi
“Maa, aku juga sudah mau… keluaarr”,
“Yang dalam paa… yang dalamm. Keluarin di dalaam
Paa… Paa… Adduuh Paa nikmat banget Paa…, ouuch..”, jeritnya lirih yang
merangkulku kuat-kuat.
Kutekan dalam-dalam penisku ke vaginanyanya. Croot,
cruuut, crruut, keluarlah spermaku di dalam rahim istri gelapku ini. Napasku
seperti terputus. Kenikmatan luar biasa menjalar kesuluruh tubuhku. Bu Tadi
menggigit pundakku. Dia juga sudah mencapai puncak. Beberapa detik dia aku
tindih dan dia merangkul kuat-kuat.
Akhirnya rangkulannya terlepas. Kuangkat tubuhku.
Penisku masih di dalam, aku gerakkan pelan-pelan, aduh geli dan ngilu sekali
sampai tulang sumsum. Vaginanya licin sekali penuh spermaku. Kucabut penisku
dan aku terguling di samping Bu Tadi. Bu Tadi miring menghadapku dan tangannya
diletakkan di atas perutku. Dia berbisik, “Paa, Nia sudah cukup besar untuk
punya adik. Mudah-mudahan kali ini langsung jadi ya paa.
Aku ingin dia seorang laki-laki. Sebelum Papa tadi
mengeluh Rina belum hamil, aku memang sudah berniat untuk membuatkan Nia
seorang adik. Sekalian untuk test apakah Papa masih joos apa tidak. Kalau aku
hamil lagi berarti Papa masih joosss. Kalau nanti pengin menggendong anak, ya
gendong saja Nia sama adiknya yang baru saja dibuat ini.” Dia tersenyum manis.
Aku diam saja. menerawang jauh, alangkah nikmatnya bisa menggendong anak-anakku.
Malam itu aku bersetubuh lagi. Sungguh penuh cinta
kasih, penuh kemesraan. Kami tuntaskan kerinduan dan cinta kasih kami malam
itu. Dan aku menunggu dengan harap-harap cemas, jadikah anakku yang kedua di
rahim istri gelapku ini
Title : SELINGKUH DNG ISTRI TETANGGA
Description : Sudah bertahun-tahun kegiatan ronda malam di lingkungan tempat tinggalku berjalan dengan baik. Setiap malam ada satu grup terdiri dari tiga ...
Rating : 5