Sudah hampir 20 menit, hujan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk
berhenti. Aku menjadi ingin buang air kecil, maklumlah udaranya dingin.
Aku bangun dan terus menuju ke belakang untuk mencari kamar mandi.
Ketika aku hampir sampai di kamar mandi, aku sekilas melihat Dosen
Hanizah sedang masuk ke kamarnya, hanya dalam keadaan menggunakan handuk
saja, mungkin baru keluar dari kamar mandi. Pada saat melihat tadi, aku
tidak sempat melihat apa-apa kecuali tubuhnya yang hanya tertutup oleh
handuk dan hanya sebentar aku melihatnya. Aku teruskan ke dapur, dan
ketika melewati kamarnya, kudapati pintu kamarnya tidak tertutup rapat.
Aku
beranikan diri untuk pergi ke arah pintu dan mulai mengintip Dosen
Hanizah yang ada di dalam, sedang berbuat apa aku pun tidak tahu. Minta
ampun.., berdesir darahku, seperti tercabut jantungku rasanya melihat
Dosen Hanizah yang dalam keadaan telanjang di dalam kamarnya. Serta
merta kemaluanku menegak. Aku hanya dapat melihat bagian belakangnya
saja, dari ujung rambut sampai ke tumit, semuanya jelas terlihat. Saat
itu Dosen Hanizah sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk
yang tadi dipakainya. Inilah pertama kalinya aku melihat perempuan
telanjang secara langsung, biasanya hanya dari video saja.
Terpatung-patung aku di muka pintu melihat bentuk badan Dosen Hanizah
yang seksi, pinggang ramping, punggung yang montok serta kulit yang
putih mulus sedang mengeringkan rambutnya. Hampir timbul niatku untuk
segera masuk dan meraba tubuhnya saat itu, tetapi aku takut nanti dia
malah tidak mau dan menuduhku ingin berbuat cabul terhadapnya.
Apa
yang sedang dilakukan Dosen Hanizah terus memukau mataku. Kadang handuk
itu digosokkan ke celah selangkangannya, lalu dilapkan. Kemudian handuk
itu dilemparkan ke atas gantungan. Secara tidak disadari, Dosen Hanizah
membalikkan badannya ke arah pintu, tempat aku berdiri. Dia jongkok
untuk membuka pintu lemari dan terlihatlah sekujur tubuh tanpa sehelai
benang pun yang hanya selama ini menjadi khayalanku saja. Buah dada
Dosen Hanizah yang menonjol segar kemerah-merahan itu sempat
kuperhatikan, begitu juga dengan segitiga emas miliknya yang dijaga
rapih dengan bulu yang tersusun indah, semuanya sempat kulihat.
Bersamaan dengan itu, Dosen Hanizah menengok ke arah pintu dan melihat aku sedang memperhatikannya, dan, "Hei..!" sergahnya.
Lalu
dia menutup bagian tubuhnya dengan kain yang sempat diambilnya dari
dalam lemari. Aku terkejut, terus lari meninggalkan tempat itu. Aku
terus ke kamar mandi. Aku diam di situ hingga kemaluanku mengedur,
sebelum kencing. Mana bisa aku kencing saat kemaluanku berdiri tegak dan
keras.
Ketika selesai, perlahan-lahan aku keluar, kudapati pintu
kamarnya tertutup rapat. Mungkin Dosen Hanizah ada di dalam. Mungkin
dia malu, aku pun malu kalau ketahuan dia saat aku mengintipnya. Aku
terus ke ruang tamu. Sebenarnya setelah itu aku mau langsung pulang saja
meskipun hujan belum reda, karena takut Dosen Hanizah marah sebab
kuintip dia tadi. Tetapi, baju basahku ada padanya dan belum kering
lagi. Aku tidak tahu dimana dia meletakkannya, kalau tahu pasti kuambil
dan terus pulang. Meskipun perasaanku tidak tentram tetapi aku tetap
menunggu di ruang tamu sambil menduga-duga apa yang akan terjadi
nantinya.
Tidak lama kemudian, Dosen Hanizah pun datang. Dia
menggunakan kain batik dengan kemeja lengan pendek. Wajahnya tidak
menunjukkan senyumnya, tidak juga memperlihatkan tanda akan marah. Dia
duduk di depanku, sempat juga aku sekilas memperhatikan pangkal buah
dadanya yang putih itu. Dia menatap tepat ke arah mataku. Aku takut,
lalu mengalihkan pandanganku.
"Azlan..!" tegurnya dengan nada yang agak tinggi.
Aku menoleh menantikan ucapan yang akan keluar dari mulut yang kecil berbibir munggil itu.
"Sudah lama Azlan ada di dekat pintu tadi..?"
"Minta maaf Bu.." balasku lemah, tunduk mengakui kesalahan.
"Saya tanya, sudah lama Kamu lihat Saya sewaktu di dalam kamar tadi..?" dia mengulangi kata-katanya itu.
"Lama juga.."
"Kamu melihat apa yang saya perbuat..?"
Aku mengangguk lemah dan berkata, "Maafkan Saya Bu.."
"Azlan..! Azlan..! Kenapa kamu mengintip Saya..?" nada suara Dosen Hanizah kembali lembut.
"Saya tak sengaja, bukannya mau mengintip, tapi pintu kamarnya yang tak rapat.."
"Salah Saya juga, sebab tidak menutup pintu tadi." balasnya.
Dosen
Hanizah sepertinya tidak marah, kupandangi wajahnya yang ayu itu,
terpancar kejernihan di wajahnya. Aku hanya mampu tersenyum dalam hati
saja bila dia senyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Kenapa kamu kelihatan pucat..?"
"Takut, takut Anda marah.."
"Sudahlah,
Saya tidak marah. Saya juga yang salah, bukan hanya Kamu. Sebenarnya
siapa pun yang punya kesempatan seperti itu pasti akan melakukan yang
Kamu lakukan tadi.." jelasnya.
Aku menganggukkan kepala sambil
tersenyum. Tidak disangka Dosen Hanizah begitu sportif, walaupun dalam
kasus begini seharusnya dia marah.
"Aaa, tak tahu sopan juga Kamu.." katanya sambil mencubirkan bibir.
Aku tertawa kecil mengenang peristiwa yang terjadi tadi.
Sesungguhnya
aku memang sudah bertindak yang tidak sopan sebab dengan sengaja
melihat Dosen Hanizah yang bertelanjang bulat. Kemaluanku menegang di
dalam sarung membayangkan tubuh montoknya Dosen Hanizah yang tidak
dilindungi sehelai benang pun. Cepat-cepat kututupi dengan meletakkan
bantal kecil ke atas kemaluanku. Jika terlihat Dosen Hanizah, bisa malu
aku dibuatnya.
"Lho, belum turun juga..?" tegurnya manja karena rupanya dia sempat melihat sarungku.
Aku menjadi malu dan posisi dudukku menjadi tidak nyaman lagi. Aku tidak mampu lagi untuk berkata-kata bila ditegur seperti itu.
Agak lama suasana hening menyelubungi ruang tamu rumah yang dihias indah itu.
"Bu..?" aku mula bersuara, "Sungguh hebat..!"
"Apa yang hebat..?"
"Pemandangan yang tadi kulihat."
"Apa yang Kamu lihat..?"
"Perempuan telanjang."
"Heh..! Tak sopan betul Kamu ini..!"
"Betul, Anda lihat saja ini..!" kataku sambil memindahkan bantal dari perutku.
Menimbullah batang kemaluanku ditutupi sarung milik suaminya.
"Tidak mau turun lagi dia..," sambungku sambil menunjuk ke arah tonjolan di bawah pusarku yang bersarung milik suaminya.
Dosen Hanizah tebengong-bengong dengan tindakanku, namun matanya terpaku di tonjolan pada sarung yang kupakai.
"Hei..! Sopanlah sedikit..!" tegurnya.
Aku
membiarkan kemaluanku mencuat tinggi di sarung yang kupakai, aku tidak
menutupnya, aku biarkan saja ia tersembul. Kubiarkan Dosen Hanizah
menatapnya, tetapi Dosen Hanizah merasa malu, matanya dialihkan ke arah
lain, sesekali matanya memandang ke arah tonjolan itu.
"Bu..?" sambungku lagi.
Dia terdiam menantikan kata-kata yang lain, sekali-kali dia memandang ke bawah.
"Anda tahu tidak..? Anda lah orang yang paling cantik di sekolah kita.."
"Mana mungkin..?" balasnya manja malu-malu.
"Betul. Semua teman saya bilang seperti itu. Dosen lelaki pun bilang hal yang sama."
"Alah, bohong.."
"Betul, saya tidak membual.."
"Apa buktinya..?"
"Buktinya,
tadi. Saya sudah melihat seluruh lekuk tubuh anda ketika anda tidak
memakai baju tadi. Itulah buktinya." jawabku dengan berani.
Aku
kira dia akan marah, tetapi Dosen Hanizah terdiam, dia tertunduk malu.
Melihat gelagatnya itu, aku semakin berani mengucapkan kata-kata yang
lebih sensual.
"Badan Anda kecil dan molek, kulit Anda putih, pinggang ramping, punggung montok.."
"Ah, sudah, sudah..!" dia memotong perkataanku.
Terlihat
wajahnya menjadi merah menahan malu, tetapi aku tidak peduli, kemudian
aku meneruskan rayuanku, "Punggung Anda tadi Saya lihat padat dan
montok. Itu dari belakang. Ketika Anda berbalik ke depan, kemaluan Anda
yang cantik itu membuat batang Saya hampir patah. Tetek Anda membuat
Saya ingin langsung menghisapnya, terlihat sedap." sambungku.
Terlihat saat itu Dosen Hanizah tidak membantah, dia masih tetap tertunduk malu.
Masa
aku akan bilang seperti ini padanya, "Penisku jangan berontak, kayak
mau tercabut, punyaku tegang tak tahu kalau aku lagi berusaha." tapi itu
hanya dalam hati saja.
Dosen Hanizah masih tunduk membisu,
perlahan-lahan aku bangun menghampiri dan duduk di sebelah kirinya. Aku
rasa dia merasakan niatku, tapi dia seakan-akan tidak tahu. Aku
rangkulkan tangan dan memegang belakang badannya.
"Rilek Bu.., Saya hanya main-main saja..!"
Dia
terkejut ketika kupegang punggungnya. Lalu dia goyangkan badan, aku pun
segera menurunkan tanganku itu. Aku masih tetap di sebelahnya, bahu
kami bersentuhan, paha kami juga bergesekan. Hujan makin lebat,
tiba-tiba terdengar bunyi petir yang agak kuat. Dosen Hanizah terkejut
dan dengan spontan dia memeluk diriku. Aku pun terkejut, turut mendekap
kepalanya yang berada di dadaku. Sempat juga aku belai rambutnya.
Entah karena apa, dia sadar dan, "Sori.." katanya ringkas lalu membetulkan posisi duduknya.
Aku
melepaskan tanganku yang melingkari badannya, wajahnya kupandang, Dosen
Hanizah menoleh ke arahku, tetapi setelah itu dia kembali terdiam dan
tunduk ke bawah.
Kaget juga kurasa tadi, mula-mula dapat melihat
tubuhnya yang telanjang, setelah itu dapat memeluk sebentar. Puas, aku
puas walaupun hanya sebentar. Entah bagaimana membayangkannya, saat itu
petir berbunyi lagi dan saat itu seakan-akan menyambar dekat bangunan
rumah dosenku. Terperanjat karena bunyi yang lebih dahsyat itu, sekali
lagi Dosen Hanizah berpaling dan memeluk tubuhku. Aku tidak melepaskan
peluang untuk memeluknya kembali. Kulingkarkan tangan kiriku ke
pinggangnya yang ramping dan tangan kananku membelai rambut dan
kepalanya. Kali ini aku rapatkan badanku ke arahnya, terasa buah dadanya
yang pejal menekan-nekan dadaku.
Dosen Hanizah mendongakkan
kepalanya menatap wajahku. Aku masih tidak melepaskan dia dari
rangkulanku, belakang badannya kuusap dari rambut sampai ke pinggang.
Dia menatapku seolah-olah memintaku untuk melepaskannya, tapi aku
menatap tepat ke dalam anak matanya. Mata kami bertemu, perlahan-lahan
aku rapatkan wajahku ke arah wajahnya, bibirku kuarahkan ke bibirnya
yang munggil dan separuh terbuka itu. Makin rapat, dan hampir menyentuh
bibirnya, dan bersentuhanlah bibirku dengan bibir dosen yang mengajarku
matematika itu. Belum sempat aku mencium bibirnya, hanya terkena
sedikit, Dosen Hanizah memalingkan wajahnya sambil tangannya mendorong
badanku minta agar dilepaskan.
Aku tetap tidak melepaskan dia,
peluang seperti ini tidak mudah kudapatkan. Kutarik dia lagi lebih
rapat. Terkejut Dosen Hanizah dengan tindakanku.
"Azlan.. tidak enak ahh.." Dosen Hanizah menolak sambil meronta lemah.
Aku tidak peduli, kueratkan lagi pelukanku, dada kami bertemu, terasa denyut dadanya naik turun dengan nafas yang agak kencang.
"Please Bu.." rayuku.
"Tidak etis ahh.., Saya ini isteri orang..!" rontanya lagi.
"Tenanglah Anda.., pleassee.." balasku lagi sambil mencium lehernya dengan lembut. Sempat juga aku menjilat cuping telinganya.
"Ja.. ja.. ngan.. lah..!" bantahnya lagi dengan suara yang terputus-putus.
Dia
memalingkan wajahnya ke kiri dan ke kanan, mengelakkan ciumanku. Aku
terus mencium lehernya sambil mengeratkan pelukan, karena tak ingin
terlepas.
"A.. a.. zzlaan.. ja.." belum sempat Dosen Hanizah
menghabiskan kata-katanya, bibirku berpautan pada bibirnya, kali ini aku
cium sekuat-kuatnya.
"Mmmpphh.. mmpphh.." Dosen Hanizah tidak bersuara lagi saat mulutnya kukecup.
Dia
meronta semakin kuat. Aku terus mencium dan mengecup bibir dan mulutnya
sambil tangan kiri menggosok ke seluruh bagian belakang badan dan
tangan kananku memegang kepalanya agar kecupanku tidak putus dari
mulutnya. Diselingi dengan punggungnya yang pejal itu kuremas, kupecet
semauku.
Agak lama mulutku berpaut di bibirnya, hingga rontaannya
semakin lemah, suaranya tidak lagi berbunyi, lama-kelamaan tidak ada
lagi rontaan, sebaliknya tangan Dosen Hanizah memeluk erat leherku. Aku
merasakan bibirnya mulai membalas ciumanku. Apa lagi, aku pun mula
menciumnya dengan penuh mesra dan kelembutan, dia membalas sambil
mengeratkan pelukannya. Terasa lidahnya dijulurkan. Aku menyambut dan
lalu menghisap lidahnya, saling bergantian kami berhisap lidah. Pada
waktu itu, hanya terdengar bunyi air hujan yang jatuh membasahi bumi dan
bunyi kecupan mulut kami berdua.