Celana dalam mini gadis itu semakin basah. Belahan bibir vaginanya
semakin jelas terlihat. Lendir semakin banyak bermuara di vaginanya.
Lendir itu bercampur dengan air liur. Karena tak tahan lagi menerima
kenikmatan yang mendera vaginanya, sebelah tangannya menjambak rambut
Theo, dan yang sebelah lagi menekan bagian belakang kepala.
"Theoo,
aarrgghh! Debby seperti ingin pipis..!" kata gadis itu di sela-sela
rintihannya. Theo menghentikan jilatan lidahnya. Ia menengadah dan
melihat mata gadis itu sedang terpejam.
"Debby ingin pipis, Sayang?"
tanyanya sambil menyisipkan jari telunjuk ke balik celana dalam yang
menutupi bibir vagina gadis itu, lalu ditariknya ke samping.
Terpampanglah
di hadapannya vagina seorang gadis remaja yang sedang dilanda birahi.
Masih kuncup tetapi menebarkan janji untuk segera merekah dihisap
serangga yang menghinggapinya. Dengan jari telunjuk, dibukanya sedikit
bibir luar vagina berlendir itu. Lipatan yang sedikit terbuka hingga
memperlihatkan vagina yang bersih, segar dan berwarna pink. Melihat hal
itu, ia memutuskan untuk memberikan cumbuan terbaik. Cumbuan yang sulit
untuk dilupakan, yang akan membuat gadis itu menjadi jinak. Ia merasa
mampu untuk melakukan hal itu. Dan sebagai balasannya, mungkin ia akan
mendapatkan perlakuan yang sama. Mempertimbangkan hal itu, ia
menenggelamkan dan menggosok-gosokkan hidungnya ke belahan bibir vagina
gadis itu. Semakin ditekan hidungnya, semakin semerbak aroma yang
memenuhi rongga paru-parunya.
Debby membuka kelopak matanya. Bola
matanya seolah ditutupi kabut basah dan terlihat mengkilat ketika ia
menunduk menatap wajah gurunya yang terselip di pangkal pahanya. Ia tak
dapat mengucapkan kata-kata. Bibirnya terasa kelu. Kaku. Nafasnya
terengah-engah. Mulutnya setengah terbuka megap-megap menghirup udara.
Ia terpaksa menggeliatkan pinggulnya untuk menahan cairan yang terasa
ingin mengalir keluar dari vaginanya. Ia tidak tega 'mem-pipisi' mulut
guru matematikanya itu.
Dicobanya mendorong kepala itu agar
terlepas dari vaginanya. Tapi kepala itu malah sengaja semakin ditekan
ke pangkal pahanya. Dicobanya untuk menarik pinggulnya. Tapi kedua
lengan guru yang sangat disayanginya itu semakin kuat merangkul
pinggulnya. Walau telah mencoba meronta, mulut yang memberinya
kenikmatan itu tetap menghisap-hisap vaginanya. Semakin meronta, semakin
keras remasan tangan di kedua bongkahan pantatnya. Dan semakin keras
pula tarikan di bongkahan pantatnya agar vaginanya tak lepas dari
hisapan dan jilatan mulut itu.
Akhirnya ia menyimpulkan bahwa
mulut itu memang ingin 'dipipisinya'. Mulut itu memang sengaja ingin
memanjakan vaginanya. Kesimpulan itu membuat ia melayang semakin tinggi
dalam kenikmatan, membuat lendir semakin banyak mengalir ke lubang
vaginanya. Sedikit pun ia tak merasa ragu ketika mengangkat kakinya yang
terjuntai di atas karpet, dan melilitkan betisnya di leher lelaki itu.
Ia sudah tak ingin kepala itu lepas dari pangkal pahanya. Bahkan ia
mempererat tekanan betisnya di leher lelaki yang sedang memanjakannya
itu. Selain menggunakan betis dan paha, ia pun menggunakan kedua
lengannya untuk menjambak rambut dan menekan bagian belakang kepala
lelaki itu lebih keras. Ia ingin membantu agar mulut itu terbenam di
dalam vaginanya ketika ia mengeluarkan 'pipisnya'.
Lidah Theo
telah merasakan bibir dan dinding vagina itu berdenyut-denyut. Ia pun
dapat merasakan hisapan lembut di lidahnya, seolah vagina itu ingin
menarik lidahnya lebih dalam. Sejenak, ia mengeluarkan lidahnya untuk
menjilat dan menghisap bibir vagina mungil itu. Dikulumnya berulang
kali. Bibir vagina itu terasa hangat dan sangat halus di lidahnya. Ia
menyelipkan lidahnya kembali ketika menyadari bahwa tak ada lagi cairan
lendir yang tersisa di bibir luar. Dijilatinya kembali dinding dan
bibir dalam vagina gadis remaja itu.
"Theo, Theoo.., Debby nggak tahan lagi. Debby ingin pipiis!"
Theo
semakin bersemangat menjilat dan menghisap-hisap. Lidahnya yang rakus
seolah belum terpuaskan oleh lendir yang telah dihisapnya. Kumisnya
sesekali menyapu bibir luar vagina yang segar itu, membuat pinggul gadis
itu terhentak-hentak di atas sofa. Walaupun kepalanya terperangkap
dalam jepitan paha dan betis, tetapi ia dapat merasakan setiap kali
pinggul gadis itu terangkat dan terhempas. Berulang kali hal itu
terjadi. Terangkat dan terhempas kembali. Sesekali pinggul itu
menggeliat menyebabkan kumisnya menjadi basah.
Ia dapat
memastikan bahwa dalam hitungan detik sejumput lendir orgasme akan
mengalir ke kerongkongannya. Dan ketika merasakan rambutnya dijambak
semakin keras diiringi dengan pinggul yang terangkat menghantam
wajahnya, ia segera mengulum klitoris gadis itu. Dikulumnya dengan
lembut seolah klitoris itu adalah sebuah permen cokelat yang hanya
mencair bila dilumuri air ludah. Sesekali dihisapnya disertai tarikan
lembut hingga klitoris itu hampir terlepas dari bibirnya. Ketika
merasakan pinggul gadis itu agak berputar, dijepitnya klitoris itu
dengan kedua bibirnya agar tak lepas dari hisapannya.
"Debby pipis, Theoo! Aargh.. Aarrgghh..!"
Theo
menjulurkan lidah sedalam-dalamnya. Bahkan ditekannya lidah dan kedua
bibirnya agar terperangkap dalam jepitan bibir vagina itu. Ia tak ingin
kehilangan kesempatan mereguk cairan orgasme langsung dari vagina
seorang gadis remaja yang cantik dan seksi. Cairan orgasme yang belum
tentu ia dapatkan dari murid lainnya. Setelah mencicipi rasa di ujung
lidahnya, dihisapnya cairan itu sekeras-kerasnya. Direguknya lendir itu
dengan lahap. Lalu dibenamkannya kembali hidungnya di antara celah
bibir vagina yang berdenyut-denyut itu.
Ia ingin menghirup aroma
paling pribadi yang dimiliki seorang gadis belia. Dengan gemas, ia
menghirup aroma itu dalam-dalam. Dan ketika merasakan pinggul gadis itu
terhempas kembali ke atas sofa, Theo menjilati vaginanya. Setetes
lendir pun tak ia sisakan! Bahkan lendir yang membasahi bulu-bulu ikal
dan bulu-bulu halus di sekitar vagina gadis itu pun dijilatinya.
Bulu-bulu itu jadi merunduk rapi seperti baru selesai disisir!
"Theo..,
ooh, aarrgghh.., Theo! Enak banget, Theoo..! Aargh.., pipis Debby kok
diminum?" desah gadis itu terbata-bata sambil mengusap-usap rambut
Theo. Setelah menjilati vagina Debby hingga bersih, Theo menengadah.
"Pipis Debby enak banget! Kecut. Agak asin. Tapi ada manisnya!" jawabnya.
"Suka ya minum pipis, Debby?"
"Suka banget! Mau pipis lagi?"
"Hmm.." kata gadis itu dengan manja. Merajuk.
"Benar suka?" sambungnya.
"Suka! Ini tanda sayang dan suka," kata Theo sambil menunduk dan mengulum sebelah bibir luar vagina gadis itu.
Debby
tertawa kecil. Senang. Bangga. Merasa dimanjakan. Tersanjung karena
telah merasakan nikmatnya menjepit kepala guru matematikanya di pangkal
pahanya. Nikmat yang baru pertama kali ia rasakan. Tapi tiba-tiba bola
matanya terbuka lebar ketika melihat Theo membungkuk melepaskan celana
sekaligus celana dalamnya dengan sekali tarikan. Dalam hitungan detik,
celana itu teronggok di atas karpet. Dan ia bergidik melihat batang
kemaluan gurunya. Batang kemaluan berwarna cokelat. Panjangnya kira-kira
15 cm. Batang kemaluan itu hanya berjarak setengah meter dari matanya.
Dan karena baru pertama kali melihat kemaluan lelaki, gadis remaja itu
terkesima. Kelopak bola matanya terbuka lebar ketika ia mengamati
urat-urat berwarna biru kehijauan yang terlihat menghiasi kulit batang
kemaluan itu.
Theo menarik pinggul Debby hingga sedikit melewati
pinggir sofa. Lalu ia mengarahkan batang kemaluannya ke vagina gadis
itu. Debby tekejut. Dengan refleks ia menarik pinggulnya.
"Debby masih virgin, Theo," katanya setengah berbisik. Nadanya memelas.
Theo
terpana mendengarnya. Sejak awal mencumbuinya, ia memang sudah menduga
bahwa gadis itu masih perawan. Terutama karena ia merasakan celah yang
sangat sempit ketika menyusupkan lidahnya di antara bibir vagina gadis
itu. Tapi bila mengingat keberaniannya menggoda dengan cara
merenggangkan kedua lututnya, ia menjadi ragu-ragu. Apalagi karena
muridnya itu berani bersekolah tanpa celana dalam. Setelah menarik nafas
panjang, diraihnya lengan kanan gadis itu.
"Aku tak akan melakukan hal-hal yang tidak Debby sukai. Aku pun tak akan menyakitimu," katanya dengan raut wajah tulus.
"Tapi adik kecil ini sedang menderita, Debby," sambungnya sambil menunjuk batang kemaluannya yang terangguk-angguk.
"Debby elus-elus ya. Kalau dibiarin, kasihan..!"
Lalu
diletakkannya telapak tangan gadis itu di batang kemaluannya. Debby
terkejut merasakan panas yang mengalir dari batang kemaluan itu ke
telapak tangannya. Sejenak ia terlihat ragu. Ia menarik lengannya,
tetapi Theo meraih dan meletakkannya kembali ke batang kemaluannya.
Akhirnya batang kemaluan itu digenggamnya sambil menengadah menatap
wajah lelaki yang disayanginya itu. Tak lama kemudian, ia menunduk
kembali untuk mengamati batang kemaluan dalam genggamannya.
"Sesekali agak diremas seperti begini," kata Theo mengajari.
"Dan sesekali dimaju-mundurkan seperti ini," sambungnya sambil menggerakkan tangan gadis itu maju-mundur.
Debby
mulai mengelus-elus. Ada sensasi yang menggelitik dirinya ketika
merasakan kehangatan batang kemaluan itu di ujung jari-jari tangannya.
Ia mendekatkan wajahnya untuk mengamati urat-urat berwarna kehijauan
yang semakin menggelembung di ujung jarinya. Lalu ia mulai menggenggam
dan memaju-mundurkan telapak tangannya. Dan ketika mendengar lelaki itu
menarik nafas panjang, ia menengadah.
"Kenapa? Sakit?"
"Enak!"
"Enak?!"
"Enak banget! Apalagi kalau pakai dua tangan."
"Begini?" tanya gadis itu sambil menggenggamkan kedua telapak tangannya.
"Ya, ya, begitu, oohh!"
Debby
menjadi bersemangat. Ia merasa senang karena dapat memberikan sesuatu
yang menyenangkan kepada gurunya itu. Ia ingin membalas kenikmatan yang
telah ia dapatkan. Apalagi sikap lelaki itu penuh pengertian. Tak ada
sikap memaksa ketika ia mengatakan bahwa ia masih virgin. Ia hanya
diminta untuk mengelus-elus dan sesekali meremas batang kemaluan itu.
Oleh karena itu, tangannya mulai digerakkan maju dan mundur, dari leher
batang kemaluan hingga ke pangkalnya. Wajahnya semakin mendekat karena
ia ingin mengamati cendawan yang menghiasi batang kemaluan itu.
Cendawan yang semakin lama semakin berwarna merah tua. Dielus-elusnya
pula cendawan itu dengan ujung jari jempolnya.